
Abstrak – George Sarton dalam bukunya ‘Introduction to
the History of Science’ menulis, “It will suffice here to evoke a few glorious
names without contemporary equivalents in the West: Jabir ibn Haiyan, al-Kindi,
al-Khwarizmi, al-Fargani, al-Razi, Thabit ibn Qurra, al-Battani, Hunain ibn
Ishaq, al-Farabi, Ibrahim ibn Sinan, al-Masudi, al-Tabari, Abul Wafa, ‘Ali ibn
Abbas, Abul Qasim, Ibn al-Jazzar, al-Biruni, Ibn Sina, Ibn Yunus, al-Kashi, Ibn
al-Haitham, ‘Ali Ibn ‘Isa al-Ghazali, al-zarqab, Omar Khayyam. A magnificent
array of names which it would not be difficult to extend. If anyone tells you
that the Middle Ages were scientifically sterile, just quote these men to him,
all of whom flourished within a short period, 750 to 1100 A.D.”
Peradaban Yunani merupakan sebuah peradaban yang
brilian. Dari sana terbukti (melalui peninggalan artefak) dihasilkan berbagai
cikal ilmu dari mulai bidang matematika, geografi, astronomi sampai bidang
kedokteran. Tokoh-tokoh yang memeloporinya antara lain Aristoteles, Socrates,
Archimedes, Euclid, Galen, dan Ptolemy. Kejayaan ini kemudian diwarisi oleh
imperium Romawi yang cakupannya meliputi seluruh Eropa ditambah sebagian Timur
Tengah dan Afrika Utara. Pada abad ke-5 Masehi, akhirnya Romawi runtuh oleh
invasi para barbarian.
Kejatuhan Romawi mengakibatkan timbulnya apa yang
disebut masa The Dark Age. Selama sepuluh abad, Eropa mengalami kemunduran
peradaban. Tentu saja dekadensi ini juga termasuk dekadensi di bidang ilmu
pengetahuan. Hal ini dapat teramati dari kajian sejarah untuk masa The Dark Age
(5 – 15 M) yang sama sekali kosong dari kajian perkembangan ilmu serta hanya
menyisakan kajian tentang feodalisme, agama, dan peperangan.
Sekitar akhir abad ke-15 hingga abad ke-17 terjadilah
‘kebangkitan’ Eropa yang dikenal dengan Renaissance. Tiba-tiba saja
kecemerlangan peradaban Yunani-Romawi pulih dengan sains, teknologi, dan seni
sebagai indikatornya. Muncul pertanyaan, dimanakah beredarnya ilmu pengetahuan
dalam rentang sepuluh abad kegelapan Barat? Jawabannya adalah peradaban Islam.
Zaman keemasan Islam diwarnai dengan pewarisan pusaka sains Yunani dan
pengembangan serta penerapannya yang kemudian diadopsi Barat untuk meraih
kebangkitan kembali. Sebuah sumbangsih filsafat Islam bagi kemajuan sains
Barat.
ILMU MENURUT ISLAM
Di satu sisi, dorongan untuk menuntut ilmu digambarkan
Al-Qur’an pada wahyu paling pertama yang diturunkan. “Iqro’”, begitulah redaksi
perintah tersebut. Kata “iqro’” tidak semata diartikan sebagai “bacalah”,
tapi juga bisa diartikan sebagai “telitilah”, “dalamilah”, serta “ketahuilah”.
Pada ayat tersebut, tidak disebutkan tentang apa yang harus “dibaca” tetapi
memberikan koridor “dengan nama Rabb” yang menunjukkan bahwa aktivitas itu
harus bernilai ibadah dan secara umum juga bernilai bagi kehidupan. Untuk itu,
maka tinjaulah alam, tinjaulah sejarah, sampai tinjaulah diri sendiri. Alat
peninjau itupun sudah dipaparkan secara eksplisit oleh Al-Qur’an. Potensi yang
dimiliki manusia untuk memahami pengetahuan adalah pendengaran, penglihatan,
akal, dan hati. Dorongan untuk menguasai teknologi menjadi semakin kuat dengan
pernyataan dalam Al-Qur’an bahwa alam ditundukkan untuk dikuasai manusia.
Adapula sebuah motif tidak langsung yang ditimbulkan
oleh Al-Qur’an terhadap penyelidikan ilmiah. Hasrat utama umat Muslim adalah
memahami kandungan dari pedoman hidup mereka, yaitu Al-Qur’an. Sebagian ada
yang ‘mudah’ dipahami namun ada juga sebagian yang ‘tidak dapat’ dipahami
kecuali dengan pengetahuan ilmiah. Dengan bermacam ayat-ayat tentang fenomena
alam maka para penafsir akan merasa perlu untuk memiliki macam-macam
pengetahuan ilmiah sehingga akhirnya dapat menguak makna yang dimaksud oleh
Al-Qur’an.
Di sisi lain, Al-Qur’an juga memberikan
gambaran-gambaran umum tentang objek sains yang dapat dipelajari. Objek
ini diistilahkan dengan “ayat” yang ada pada alam maupun pada diri manusia itu
sendiri (bahasa dan logika). Dikatakan bahwa ada sekitar 700 ayat yang
membicarakan fenomena alam. Penjelasannya kadang umum dan kadang rinci dan
semuanya bernilai kebenaran (Al-Qur’an adalah kebenaran mutlak). Banyak
pembicaraan tentang penciptaan alam, astronomi, bumi, hewan, tumbuhan, sampai
tentang kelahiran manusia. Hal-hal tersebut malah dewasa ini dapat dibuktikan oleh
sains modern.
Berbeda dengan sekularisme Barat, Islam mengembangkan
ilmu pengetahuan dalam kerangka religi. Islam menjadi alat utama dalam usaha
ilmiah para penganutnya. Sebagai bukti, banyak ayat Al-Qur’an dan perkataan
Rasul (Hadits) yang menjadi bahan bakar yang luar biasa bagi umat Muslim untuk
mempelajari ilmu. Anjuran menuntut ilmu, teguran untuk memikirkan, penghargaan
bagi siapa yang mengetahui, dan sebagainya bertebaran dalam kitab suci kaum
Muslim. Hal ini diperkuat dengan pemaparan Al-Qur’an tentang fenomena-fenomena
alam beserta kompleksitasnya, keserasiannya, dan kesempurnaannya yang semakin
merangsang untuk diselidiki. Belum lagi dari sisi syari`at, dimana pemeluk
seakan dipaksa menguasai ilmu pengetahuan guna menunjang pelaksanaan ibadah.
Sebagai contoh, ibadah shalat yang harus dilaksanakan pada waktunya serta
ibadah puasa yang wajib dilakukan pada bulan tertentu sehingga mutlak
dibutuhkan penguasaan terhadap siklus waktu kosmik. Pun dengan hukum waris yang
menuntut keahlian hitung (matematika) Akhirnya kesemuanya itu terbingkai dalam
tujuan tertinggi untuk mengenal, mengabdi, dan mendekatkan diri kepada Allah.
FILSAFAT ISLAM
Filsafat Islam muncul dengan cakupan kedua belahan
dunia (timur-barat). Meskipun pada awalnya muncul di timur, namun
perkembangannya sampai ke barat sesuai dengan daerah kekuasaan Islam pada masa
jayanya. Selama tujuh abad (abad 7-13 Masehi), paham ketuhanan milik Islam
menghiasi perkembangan ilmu pengetahuan. Mulai dari Al-Kindi (801-873),
Al-Farabi (870-950), Ibnu Sina (980-1037), Al-Ghazali (1056-1111), sampai Ibnu
Rusyd (1126-1198) menjadi para pelopor filsafat islam.
Perodisasi filsafat Islam dapat dibagi menjadi lima
tahap. Tahap pertama yaitu pada rentang abad ke-1 Hijriyah (abad ke-7 Masehi)
hingga jatuhnya imperium Baghdad. Tahap kedua dikenal dengan ‘keguncangan’
setengah abad. Tahap ketiga berlangsung pada awal abad ke-4 Hijriyah (abad
ke-14 Masehi) sampai dengan abad ke-12 Hijriyah (abad ke-18 Masehi). Kemudian
berlanjut pada tahapan keempat dimana terjadi kondisi kemunduran yang
menyedihkan selama satu abad setelahnya. Akhirnya pada tahap kelima
disebut-sebut sebagai masa renaissans modern yaitu pada abad ke-13 Hijriyah
(abad ke-19 Masehi).
Meskipun pada intinya satu tubuh ajaran Islam, namun
agar mudah dalam pengkajiannya filsafat Islam dapat dikategorikan menjadi
filsafat teologi, filsafat alam, dan filsafat sosial. Segmen filsafat alam
inilah yang kemudian melahirkan perkembangan sains. Hal ini terjadi terutama
pada periode tahap pertama hingga awal tahap ketiga (abad ke-7 hingga abad
ke-14 Masehi).
KARYA EMAS ISLAM
Perkembangan sains Islam dapat dibagi ke dalam tiga
tahap. Tahap pertama adalah pewarisan dan penerjemahan. Pada masa ini dilakukan
pengumpulan berkas-berkas penulisan Yunani untuk kemudian diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab. Institusi terkenal yang mengoleksi dan menerjemahkan
tersebut salah satunya adalah Baitul Hikmah yang dibangun pemerintahan Khalifah
Al-Ma’mun dari Dinasti Abbasiyah. Tahap kedua adalah pengklasifikasian
cabang-cabang ilmu kemudian merumuskan metoda ilmiah dalam mempelajari dan
membuktikannya. Tahap ketiga adalah pengembangan dan penemuan ilmu-ilmu
pengetahuan baru.
Berikut penjelasan singkat mengenai beberapa cabang
sains yang berkembang beserta tokoh-tokoh yang memeloporinya:
A. Kosmologi
Kosmologi adalah ilmu tentang sejarah, struktur, dan
cara kerja alam semesta secara keseluruhan. Ilmu ini telah berkembang selama
ribuan tahun dalam beberapa bentuk: mitologi dan religius, mistis dan
filosofis, dan astronomis.
Ibn al-Shatir adalah seorang astronom muslim ternama
yang bersama timnya menerjemahkan model kosmik Ptolemeus (pada naskah Almagest
atau Al-Majisti) ke dalam konsep yang dapat diterapkan supaya lebih cocok
dengan apa yang terlihat di langit.
B. Matematika
Sejak awal peradaban manusia, matematika sudah menjadi
elemen penting dalam menunjang kehidupan. Penggunaan matematika sebagai alat
terbukti eksis pada masa Mesir, Mesopotamia, India, dan Cina kuno. Ahli
matematika Islam mengubah sifat bilangan (konsep angka desimal dan simbol
bilangan nol, penambahan angka irasional serta natural dan pecahan),
mengefisienkan beberapa bidang matematika, dan mengembangkan cabang-cabang baru
matematika.
Di antara ahli matematika Islam yang terkenal adalah
Banu Musa bersaudara yang meneliti angka-angka geometri berhubungan. Ibn
al-Haytham mempelajari isometrik. Tsabit ibn Qurra, Nasiruddin al-Tusi, dan
Umar Khayyam mengkaji postulat Euclid (yang buku aslinya berjudul Elements).
Tidak lupa juga Al-Khawarizmi yang mengenalkan konsep aljabar dan algoritma.
Trigonometri (terutama kajian segitiga) pun pada dasarnya adalah ciptaan
matematikawan Islam. Belum lagi Abu Rayhan al-Biruni yang menerjemahkan karya
Euclid ke dalam bahasa Sansekerta dan menghitung keliling serta jari-jari bumi
secara presisi.
C. Astronomi
Pada masa itu, astronomi biasanya dikaitkan dengan
matematika. Upaya yang dilakukan terdiri dari penelitian gerakan benda-benda
langit dan mencatat apa yang ditemukan secara matematis. Pengetahuan ini
diturunkan dari masa Yunani, Mesir, Babilonia, dan India kuno.
Putra Hunain ibn Ishaq –penerjemah kenamaan abad ke-9–
membuat terjemahan Almagest (berisi tentang kinematika langit) karya Ptolemeus.
Konsep Aristoteles tentang sfera padat yang diperkenalkan pada peradaban Islam
melalui karya-karya Ibnu al-Haytham tetap menjadi model fundamental selama
berabad-abad. Tsabit ibn Qurra dan Ibn Yunus, dikenal sebagai pengelola observatorium
(lengkap dengan instrumen-instrumen astronomi hasil ciptaan yang luar biasa
semisal astrolabes, bola langit, kuadran, dan jam matahari) yang didirikan di
berbagai tempat. Al-Biruni (ditambah peran Al-Khawarizmi) menghasilkan data
pengamatan yang membentuk dasar-dasar buku pegangan untuk jadwal astronomi
penting yang dikenal sebagai zij. Al-Tusi dengan konsepnya yang
terkenal, Tusi Couple, mengajukan model hipotesis tentang gerakan
episiklus. Model tersebut kemudian diterapkan oleh Ibn al-Shatir dengan konsep
gerakan planeter yang belakangan ternyata menunjukkan persamaan dengan skema
Copernicus. Abdurrahman Al-Sufi dalam bukunya Kitab Suwar al-Kawakib
al-Thabita (Risalah tentang Konstelasi Bintang-bintang Tetap) menguraikan
tentang 48 konstelasi Ptolemeus.
D. Geografi
Meluasnya dunia Islam membutuhkan panduan di bidang
geografi. Menghadapi kebutuhan yang berkembang pada perjalanan dan pedagangan
serta urusan pemerintahan, ahli geografi bekerja keras untuk memperbaiki,
mengembangkan, dan mengisi peta dunia yang diperoleh dari sumber-sumber
Babilonia, Persia, dan Yunani serta dari naskah Yahudi, Kristen dan Cina.
Pandangan kartografi Islam terhadap daerahnya menyerupai pandangan kartografi
modern.
Abu Ishaq al-Istakhri (dengan karyanya: Al-Masalik
wa Al-Mamalik –Jalur Perjalanan Kerajaan–) dan Ibn Hawqal membagi daerah
Islam menjadi 12 wilayah dan memisahkan daerah non-Islam dalam kategori yang
berbeda serta menulis atlas. Al-Mas’udi, dalam karyanya Muruj al-Dhahab
(Padang Rumput Emas dan Tambang Permata), menguraikan tempat-tempat yang ia
kunjungi dan berisi potret Eropa. Ibn Batuta, penjelajah abad ke-14 asal
Maroko, menghabiskan hidupnya dengan berkelana dari Afrika Utara ke Cina dan
Asia Tenggara lengkap dengan laporannya. Ibnu Khaldun memberikan penjelasan
tentang daerah dan orang-orang di dalam batas wilayah Islam. Al-Idrisi membuat
peta dunia berbentuk relief dari perak kemudian membuat detailnya pada 71 peta
terpisah dan menyertainya dengan buku Kitab al-Rujari. Piri Re’is,
seorang kapten laut masa Turki Utsmani, menghasilkan atlas mediterania serta
bahkan peta Afrika Barat dan Amerika.
E. Kedokteran
Pada bidang kesehatan, Islam mewarisi dan mempelajari
keberhasilan Yunani, Romawi klasik, Syria, Persia, dan India. Karya utama yang
diterjemahkan dan menjadi basis adalah De Materia Medica yang disusun
Dioscorides. Perpustakaan, pusat-pusat penerjemahan, dan rumah sakit sebagai
sebuah institusi telah dikembangkan dengan cara revolusioner yang dapat
membentuk jalan bagi sains kesehatan.
Al-Ruhawi memberikan karya berjudul Adab al-Tabib
(Kode Etik Dokter) yang merupakan salah satu naskah berbahasa Arab pertama yang
membicarakan masalah etika medis. Al-Razi (dikenal di Barat dengan sebutan
Rhazes) dengan karyanya Tentang Cacar dan Campak yang diterjemahkan ke dalam
bahasa-bahasa Barat hingga cetakan ke-40. Ia juga menulis 23 jilid Al-Hawi (Kitab
yang Lengkap) yang merupakan salah satu naskah pengobatan paling lengkap
sebelum abad ke-19. Ibn Sina (dikenal di Barat dengan sebutan Avicenna) dengan
karyanya yang fenomenal Al-Qanun berupa ensiklopedi topik-topik medis
serta senyawa, obat, dan alat pengukuran. Karya Al-Razi dan Ibn Sina tersebut
digunakan sebagai rujukan dasar di sekolah-sekolah medis Eropa hingga menjelang
awal masa modern. Ibn al-Khatib melakukan penelitian tentang penularan dalam
epidemi. Ibn al-Nafis memberikan teori baru tentang sirkulasi darah sekunder
antara jantung dan paru-paru. Risalah Hunain ibn Ishaq tentang mata beserta
diagram-diagram anatomi yang akurat merupakan yang pertama dalam bidang ini.
Mansur ibn Muhammad ibn al-Faqih Ilyas dengan naskahnya Tashrih al-Badan
(Anatomi Tubuh) memberikan diagram komprehensif mengenai struktur, sistem
sirkulasi, dan sistem syaraf tubuh. Abu al-Qasim al-Zahrawi (dikenal di Barat
dengan sebutan Abulcasis) menelurkan karya berjudul Kitab al-Tasrif
(Buku tentang Konsesi) yang berisi tiga risalah utama mengenai pembedahan yang
digunakan sekolah-sekolah medis Eropa selama beberapa abad. Ibn Zuhr
(Avenzoar), Ibn Rusyd, dan Maimonides adalah ahli-ahli kedokteran lainnya.
Tidak ketinggalan pula Ibn al-Baytar dengan karyanya Al-Jami’ fi al-Tibb
(Kumpulan Makanan dan Obat-obat yang Sederhana) yang merupakan teks Arab
terbaik berkaitan dengan botani pengobatan (farmakologi) dan tetap digunakan
sampai masa Renaissans.
F. Zoologi,
Botani, Geologi
Para naturalis Islam memiliki minat terhadap sumber
daya alam seperti batuan, tanah, flora, dan fauna. Hasilnya adalah inventaris
yang melimpah tentang kuda, unta, hewan liar, anggur, pohon palem, sampai
manusia.
Al-Biruni dan al-Khazini bahu membahu mengukur dan
mengelompokkan batu-batu mulia dan semimulia. Ibn Sina juga meneliti geologi
dan pengaruhi gempa bumi serta cuaca. Karya Zakaria ibn Muhammad ibn Mahmud Abu
Yahya al-Qazwini pada abad ke-13 berjudul Aja’ib al-Makhluqat (Keajaiban
Ciptaan), mengungkapkan botani dan zoologi. Ibn Akhi Hizam dan Abu Bakr
al-Baytar meneliti tentang kuda. Analisa tentang hewan juga terdapat pada
naskah Manafi’ al-Hayawan (Tentang Identifikasi dan Ciri-ciri Organ
Hewan) oleh Abu Sa’id Ubaydallah ibn Bakutishu’.
G. Kimia
Alkimia menggabungkan spiritual, kerajinan, dan
disiplin-disiplin ilmiah yang dapat ditelusuri kembali pada masa yang sangat
lampau dan pada proses yang secara tradisional terdapat dalam penyiapan
pengolahan logam dan obat. Ketika peradaban Islam sudah mapan, mereka menyerap
aturan-aturan dasar alkimia yang dibuat oleh bangsa Alexandria dan terus
membentuknya dalam konensi-konvensi intelektual mereka sendiri.
Jabir ibn Hayyan (dikenal di Barat dengan sebutan
Geber) adalah legenda di bidang ini. Ia memfokuskan pada prinsip keseimangan
dan hubungan numerik benda-benda. Ia tidak hanya mahaguru laboratorium tapi
juga analis yang teliti. Ia mengetahui cara-cara menghasilkan besi, mewarnai
kulit, kain tenun, dan baju anti air. Al-Razi juga memberikan sumbangan di
bidang ini berupa proses kimia dasar seperti distilasi, kalsinasi,
kristalisasi, penguapan, dan penyaringan. Perkakas lab yang ia gunakan
diperbaiki dan dikembangkan sampai kotak, gelas kimia, labu kaca, corong, dan
tungku pembakaran yang standar menyerupai yang terdapat pada masa modern. Ia
juga membuat klasifikasi sistematis terhadap zat-zat mineral hasil alami maupun
yang dibuat di lab.
H. Optik
Beberapa filosof, matematikawan, dan ahli kesehatan
Islam berupaya keras mempelajari sifat fundamental serta cara bekerja pandangan
dan cahaya. Mereka memiliki akses pada warisan pengetahuan Yunani yang
berkaitan dengan cahaya dan penglihatan. Sumber-sumber itu antara lain karya
Euclid dan karya astronom Mesir, Ptolemeus.
Al-Kindi, dengan kajiannya pada karya Euclid yang
berjudul Optics, menghasilkan pemahaman baru tentang refleksi cahaya
serta prinsip-prinsip persepsi visual yang menjadi cikal bakal hukum-hukum
perspektif pada Renaissans. Riset paling spektakuler mengenai penglihatan dan
cahaya dilakukan oleh Ibn al-Haytham (dikenal di Barat dengan sebutan Alhazen).
Ia meneliti hampir seluruh aspek cahaya dan penglihatan manusia dalam karya
komprehensifnya yang berjudul Kitab al-Manazir (Buku Tentang Optik).
Karya tersebut kemudian mempengaruhi karya da Vinci, Kepler, Roger Bacon, dan
ilmuwan-ilmuwan Eropa lain. Kamal al-Din al-Farisi mengomentari karya Ibn
al-Haytham pada segmen efek kamera obscura. Ia (al-Farisi) juga untuk
pertamakalinya memberikan penjelasan yang memuaskan tentang pelangi. Selain
itu, al-Razi dan Ibn Sina juga mencantumkan tulisan-tulisan tentang optik.
Demikianlah karya emas Islam di bidang sains. Jika
diperhatikan, ada tokoh-tokoh yang menjadi ahli di berbagai bidang. Itulah
potret manusia Islam seutuhnya. Seorang yang telah mencapai derajat ulama
berarti selain menguasai agama juga memiliki keahlian di bidang ilmu dunia
(sains dan teknologi). Perlu dicatat bahwa nama tokoh-tokoh di atas tidak
semuanya Muslim. Ada sebagian kecil diantaranya menganut agama Yahudi, Kristen,
ataupun Sabean. Tapi semuanya hidup di bawah peradaban Islam dimana Khalifah
(pemerintahan) sangat toleransi terhadap kemajemukan serta giat memajukan ilmu
pengetahuan dengan bahasa Arab sebagai bahasa internasional dan bahasa ilmu.
Sebuah sistem hidup yang tiada taranya.
KESIMPULAN
Dalam kajian sejarah, dapat diketahui bahwa Arab
sebelum Islam dikenal sebagai zaman jahiliyah dimana ilmu pengetahuan tidak
mendapat porsi padanya. Kemudian perkembangan sains itu berjalan cepat setelah
adanya risalah Islam. Inilah bukti bahwa Islam melahirkan kemajuan ilmu
pengetahuan.
Kebudayaan yang timbul adalah Islam sebagai center
of excellence di semua bidang termasuk sains dalam sepuluh abad. Lambang
kejayaan itu tercermin dari kedua pusatnya yaitu Baghdad di timur dan Cordoba
di barat. Di Qurtubah (Cordoba) terdapat perpustakaan yang menyimpan sekitar
400.000-600.000 buku. Manuskrip-manuskrip tersebar di negeri-negeri yang
pernah dikuasai oleh kebudayaan Islam. Dunia Islam tidak menghalangi seseorang
untuk menjadi orang yang beriman dan sekaligus pandai. Seolah sains dan agama
adalah saudara kembar yang saling berdampingan.
Barat banyak berhutang kepada pengetahuan Arab
(Islam). Antara lain di bidang kosmologi, matematika, astronomi, geografi,
kedokteran, kimia, optik, zoologi, botani, geologi, dan lain-lain.
PUSTAKA
[1] Zaimeche, Salah. 2002. An Introduction to Muslim
Science. Published by Foundation for Science Technology and Civilisation,
United Kingdom.
[2] Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Quran: Tafsir
Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Jakarta: Mizan.
[3] http://misykatulanwar.wordpress.com/2008/04/10/urgensi-filsafat-ilmu-bag-ii/
[4] Bucaille, Maurice, dr. 1995. The Bible, The Qur’an
and Science. Dubai: El-Falah Foundation.
[5] Zaimeche, Salah. 2002. Islam and Science.
Published by Foundation for Science Technology and Civilisation, United
Kingdom.
[6] Emerick, Yahiya. 2002. The Complete Idiot’s Guide
to Understanding Islam. Indianapolis: Alpha Books, Pearson Education Inc.
[7] Turner, Howard R. 2004. Sains Islam yang
Mengagumkan: Sebuah Catatan terhadap Abad Pertengahan. Bandung: Nuansa.
[8] Sarton, George. 1948. Introduction to the History
of Science. Malbourne: Krieger Publishing Co.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar